Mediasi Penyelesaian Sengketa Lahan Yayasan di Kampung Biatan Ilir, Pemkab Berau Janji Carikan Solusi

BERAU- Puluhan warga Kampung Biatan Ilir mengikuti mediasi terkait persoalan tumpang tindih lahan seluas kurang lebih 400 hektar yang melibatkan Yayasan Al-I’tisham, di Kampung Biatan Ilir. Mediasi tersebut dilakukan di ruang rapat Gedung Kantor DPMK Berau pada Rabu (12/3/2025) kemarin.
Persoalan tumpang tindih lahan yayasan dan masyarakat Kampung Biatan Ilir telah menjadi permasalahan yang cukup panjang dan berlarut-larut sejak tahun 2012.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Kampung Biatan Ilir, Abdul Hafid, yang menjelaskan bahwa meskipun masalah ini terlihat sepele, namun sebenarnya memiliki dampak yang cukup besar bagi masyarakat setempat.
Dikatakan Hafid, pada awalnya, yayasan yang terlibat dalam pengelolaan lahan tersebut mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk rekomendasi kepala kampung sebelumnya pada tahun 1998. Namun, menurutnya, seiring berjalannya waktu ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan peraturan, terutama terkait penggunaan lahan yang dianggap tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pihak yayasan.
“Sebenarnya yang terjadi bukan masalah yayasan itu sendiri, tapi pengurusnya. Pihak yayasan mendeklarasikan diri sebagai ahli waris. Akhirnya warga jadi bingung, apakah memang ada ahli waris dari yayasan itu sendiri,” ujarnya saat ditemui usai menghadiri mediasi.
Lebih lanjut, Hafid menjelaskan bahwa selama ini ada upaya mediasi yang dilakukan oleh pemerintah kampung untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Ia mengungkapkan bahwa pada awalnya, lahan tersebut dikelola oleh almarhum Ustaz Rahmat, yang kemudian digantikan oleh saudaranya. Namun, sengketa baru muncul setelah meninggalnya Ustaz Rahmat.
“Sebagai pemerintah kampung, saya merasa ini adalah tanggung jawab kami. Saya sudah berusaha untuk memediasi sejak 2012, namun masalahnya semakin berat, dan saya akhirnya melaporkan hal ini ke Pemkab,” lanjutnya.
Hafid juga menyebutkan bahwa meskipun sudah ada beberapa pengajuan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) yang diminta untuk diterbitkan, ia menolaknya karena beberapa alasan, termasuk adanya tumpang tindih lahan yang belum terselesaikan.
“Sebelum memberikan rekomendasi, kami harus memastikan apakah ada tumpang tindih atau sengketa di lahan tersebut. Kami tidak akan memberikan tanda tangan atau rekomendasi jika itu merugikan masyarakat,” ujarnya.
Meskipun sempat ada ketegangan yang muncul saat mediasi berjalan, Hafid mengungkapkan bahwa ia berusaha menenangkan masyarakat dan menyarankan agar semua pihak mencari solusi terbaik.
“Kami tidak ingin ini menjadi masalah besar, kami ingin mencari jalan terbaik untuk kampung dan Kabupaten Berau,” tambahnya.
Sebagai solusi lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Pemkab Berau akan melakukan pengecekan langsung ke lapangan untuk memastikan kondisi yang sebenarnya. Hafid berharap dengan adanya langkah tersebut, masyarakat bisa mendapatkan kejelasan dan penyelesaian yang adil.
Ia juga menegaskan bahwa penolakan yang terjadi bukan karena Yayasan Al-I’tisham atau pesantren itu sendiri, namun lebih pada ketidaksesuaian dalam pengelolaan dan administrasi yang dirasa merugikan masyarakat setempat.
“Yang perlu diketahui bersama, ini bukan soal kehadiran yayasan atau pesantren, tapi soal pengelolaan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat, tutupnya.
Sementara itu, Pengawas Yayasan Al-I’tisham, Syamardan mengungkapkan perjalanan panjang terkait sengketa ini. Menurutnya, pada awalnya tanah tersebut dikelola oleh orang tua mereka dengan menggunakan surat tua yang hingga kini dipertahankan.
“Awalnya memang dikelola orang-orang tua kami. Memang secara surat, kita memiliki hanya surat tua, yang kita pertahankan sampai saat ini, surat tua itu,” ungkapnya.
Di tahun 2003, Yayasan Al-I’tisham berupaya mengikuti aturan pemerintah untuk memperoleh kepemilikan tanah. Mereka mengajukan permohonan ke pemerintah kampung untuk memulai penerbitan surat tersebut. Namun, setelah tiga tahun tidak ada penyelesaian, mereka kembali mengingatkan pemerintah kampung.
“Dan kemudian di dalam waktu tiga tahun, kami tidak mendapatkan penyelesaian. Akhirnya, kemudian dua minggu berikutnya kami menyurati beliau, pemerintah kampung, untuk mengingatkan bagaimana supaya surat itu diselesaikan,” ungkapnya.
Namun, pihak yayasan mengaku tidak menerima informasi yang jelas. Bahkan setelah meminta klarifikasi, tidak ada jawaban tertulis yang diterima dari pemerintah kampung terkait alasan tidak diterbitkannya surat.
“Kami meminta klarifikasi dari kampung, alasan tidak bisa diterbitkannya, suratkan kami mohon terkait dengan area itu. Tetapi itu juga tidak ada jawaban secara tertulis, kami meminta secara terus supaya kami tahu langkah-langkah apa yang bisa kami ambil terkait dengan hasil dari penjelasan kampung tersebut,” tambahnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Asisten I Pemkab Berau, Hendratno menyampaikan bahwa persoalan ini bukan merupakan sengketa lahan, namun lebih kepada administrasi tanah. Meskipun SKPT sudah ada, namun dasar pembuatannya yang masih belum terpenuhi.
“Ini persoalan proses penyuratan tanah yang bermasalah. Jadi itu SKPT, tetapi landasan pembuatannya belum terpenuhi,” ujarnya.
Ia pun menekankan bahwa penyelesaian kasus ini membutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap status lahan. Ia juga menyebut pemeriakan melakukan penelitian lebih lanjut terkait hal itu.
“Beruntung kita ada pertemuan lengkap hari ini antara yayasan, warga, dan pemerintah, jadi bisa kita bersama-sama mencari solusi terbaik. Yang terpenting sekarang adalah menyelaraskan kepentingan yayasan dan warga. Pemerintah akan membantu memberikan arahan terkait mekanisme yang benar. Mungkin penelitian ini belum dilaksanakan dan landasan untuk membuatnya belum terpenuhi. Tapi insyaallah ketemu jalan keluarnya,” tandasnya. (ndp)
Editor: Marta