Menjelang Berakhirnya Izin Operasional PT Berau Coal, Menanti Langkah Konkret Pemerintah

PT BERAU COAL ENERGY adalah produsen batu bara terbesar kelima di Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1983 setelah menandatangani kontrak dengan pemerintah Indonesia sebagai kontraktor pertambangan tunggal di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Produksi batu bara dimulai pada tahun 1994.
Berau Coal mengoperasikan tiga tambang aktif, yaitu Lati, Sambarata, dan Binungan, yang terletak dalam satu konsesi seluas sekitar 118.400 hektar di Kalimantan Timur. Perusahaan ini memiliki sumber daya batu bara yang diperkirakan mencapai 2,6 miliar ton, dengan cadangan terbukti dan terduga sekitar 512 juta ton. Semua tambang tersebut menghasilkan batu bara termal yang diekspor terutama ke pasar Tiongkok.
Pada tahun 2010, Berau Coal menjadi bagian dari Vallar plc, sebuah perusahaan investasi milik financier Inggris Nathaniel Rothschild. Namun, perusahaan ini menghadapi berbagai kontroversi, termasuk dugaan hilangnya dana sebesar $173 juta di bawah kepemimpinan Rosan Roeslani. Setelah serangkaian konflik internal dan investigasi terkait “ketidakwajaran keuangan”, Amir Sambodo setuju untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden direktur Berau Coal pada Maret 2015.
Pada tahun 2015, Asia Coal Energy Ventures Ltd., anak perusahaan dari Sinar Mas Group yang dipimpin oleh Fuganto Widjaja, mengambil alih seluruh saham Berau Coal. Namun, perusahaan ini mengalami kesulitan keuangan, termasuk gagal bayar atas obligasi yang diterbitkan pada tahun 2015 dan 2017. Akibatnya, PT Berau Coal Energy Tbk. dihapus dari pencatatan di Bursa Efek Indonesia pada 16 November 2017 karena gagal menyerahkan laporan tahunan dan laporan keuangan sejak tahun 2014. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, PT Berau Coal Energy tetap menjadi salah satu pemain utama dalam industri pertambangan batu bara di Indonesia.
Tepat pada 22 April 2025, izin operasional perusahaan hijau hitam ini pun akan berakhir. Hal itu kemudian mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi XII DPR RI, Syafruddin.
Syafruddin, menyoroti persoalan reklamasi lahan bekas tambang yang masih jauh dari harapan. Lubang-lubang tambang yang belum direklamasi bukan hanya merusak pemandangan, tetapi juga membahayakan lingkungan dan keselamatan masyarakat. Di berbagai daerah, kasus kecelakaan akibat lubang bekas tambang yang dibiarkan terbuka bahkan banyak menelan korban jiwa, sehingga menurutnya persoalan ini tidak bisa dianggap remeh.
Selain itu, masyarakat juga mengeluhkan sengketa lahan yang belum terselesaikan serta dampak pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan Berau Coal. Syafruddin menegaskan bahwa sebelum izin diperpanjang, evaluasi total harus dilakukan.
“Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya selaku wakil rakyat meminta agar ditahan dulu perpanjangan izinnya. Sebaiknya kita evaluasi dulu secara total,” tegasnya.
Permintaan ini mencerminkan kekhawatiran publik bahwa tanpa evaluasi yang ketat, perpanjangan izin hanya akan memperpanjang masalah yang ada. Dengan sejarah panjangnya di industri pertambangan batu bara, PT Berau Coal kini berada di persimpangan jalan. Apakah perusahaan ini akan mampu memenuhi tanggung jawabnya sebelum izin operasionalnya berakhir? Ataukah pemerintah akan memberikan perpanjangan tanpa syarat?
Masyarakat kini menanti langkah konkret dari pemerintah. Keputusan yang diambil akan menjadi penentu masa depan Berau, bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi lingkungan dan masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan. (ndp)