Kualitas Pertamax di Pasaran Jadi Pertanyaan Usai Kasus Korupsi Pertamina Patra Niaga Terungkap

JAKARTA- Terungkapnya kasus korupsi di Pertamina Patra Niaga memicu keresahan publik soal kualitas Pertamax. Kasus ini juga merugikan negara.
Kasus korupsi minyak mentah yang melibatkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan membuat geger masyarakat. Jutaan masyarakat menyoroti kasus pengoplosan Pertalite (Ron 90) menjadi Pertamax (Ron 92).
Masyarakat kini mempertanyakan kualitas Pertamax di pasaran. Sebab, kasus pengoplosan Pertamax ini terjadi dalam 5 tahun mulai 2018-2023. Masyarakat khawatir lantaran praktik jahat ini ini tidak hanya merugikan dari segi ekonomi, tetapi juga menimbulkan ancaman serius terhadap performa dan usia pakai kendaraan.
Aksi Riva Cs ini telah menimbulkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun dan mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap produk Pertamina.
Pertamax, yang merupakan bahan bakar dengan RON 92, seharusnya memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan Pertalite yang memiliki RON 90. Namun, dengan adanya dugaan penyelewengan ini, banyak yang merasa dirugikan, terutama dalam hal efisiensi konsumsi bahan bakar.
Pertamax adalah bahan bakar minyak yang mengandung RON (Research Octane Number) 92, yang dirancang untuk memberikan performa mesin yang lebih baik dibandingkan dengan bahan bakar dengan RON lebih rendah. RON adalah ukuran kemampuan bahan bakar untuk menghindari detonasi prematur di dalam mesin.
Semakin tinggi angka RON, semakin baik kualitas bahan bakar tersebut dalam mencegah knocking pada mesin. Pertamax terbuat dari campuran hidrokarbon yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak mentah, dan ditambahkan dengan aditif untuk meningkatkan performanya.
Namun, dalam kasus ini, dugaan adanya pencampuran bahan bakar dengan oktan di bawah standar menyebabkan Pertamax yang dijual di pasaran tidak sesuai dengan spesifikasi yang seharusnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengguna kendaraan, terutama yang menggunakan mesin dengan spesifikasi tinggi yang memerlukan bahan bakar berkualitas.
Distribusi Pertamax di Indonesia cukup signifikan, dengan total konsumsi bahan bakar ini mencapai lebih dari 10 juta kiloliter per tahun. Pertamina sebagai perusahaan negara memiliki peran penting dalam penyediaan bahan bakar ini di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, dengan adanya isu kualitas yang muncul akibat kasus korupsi ini, masyarakat mulai mempertanyakan keberlanjutan dan keamanan pasokan Pertamax ke depan.
Dalam situasi ini, Pertamina diharapkan dapat memberikan klarifikasi dan transparansi mengenai proses produksi dan distribusi Pertamax. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jelas mengenai kualitas bahan bakar yang mereka konsumsi, terutama setelah terungkapnya kasus korupsi ini.
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan, Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, penyidik memperoleh fakta adanya pemufakatan jahat atau mens rea.
“Antara penyelenggara negara tersangka SDS, tersangka AP, tersangka RS, dan tersangka YF, bersama DMUT atau Broker tersangka MK, tersangka DW, dan tersangka GRJ, sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” ungkap Harli.
Pemufakatan jahat tersebut lantas diwujudkan dengan adanya tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan broker yang telah ditentukan, dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan.
“Dengan cara tersangka RS, tersangka SDS dan tersangka AP memenangkan DMUT atau broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ujar dia.
Sementara itu, lanjut Harli, tersangka DM dan tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi atau spot pada saat syarat belum terpenuhi, dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari tersangka RS untuk impor produk kilang.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian atau pembayaran untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” tukasnya.
Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, penyidik menemukan fakta adanya mark up kontrak shipping atau pengiriman, yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13 persen sampai dengan 15 persen secara melawan hukum dan tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
“Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan Harga Index Pasar (HIP) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau tinggi, sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” terang Harli.
PT Pertamina Patra Niaga, sebagai Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero), menegaskan tidak ada pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari memastikan kualitas Pertamax sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Heppy melanjutkan perlakuan yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat.
Selain itu, juga ada injeksi aditif, yang berfungsi untuk meningkatkan performa produk Pertamax.
“Jadi, bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” jelas Heppy.
Pertamina Patra Niaga juga melakukan prosedur dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan quality control (QC).
Distribusi BBM Pertamina, lanjutnya, juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
“Kami menaati prosedur untuk memastikan kualitas dan dalam distribusinya juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Migas,” sebut Heppy.
Heppy menambahkan Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen. (Sumber: Merdeka.com)